I Made Riko Adi Saputra. Powered by Blogger.

Saturday 25 June 2011

Tumpek Bubuh

BAGI orang Bali memelihara kelestarian lingkungan merupakan kewajiban suci. Kewajiban ini sebagai pengamalan ajaran agama Hindu dengan melaksanakan upacara Tumpek Bubuh atau disebut juga dengan nama Tumpek Pengarah, Tumpek Uduh, Tumpek Wariga. Sesaji upacara Tumpek Bubuh ini dipersembahkan ke hadapan Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, Dewa penguasa tumbuh-tumbuhan.

Upacara Tumpek Bubuh adalah upaya menyadarkan manusia, bahwa masalah ekologi dan lingkungan hidup harus mendapat perhatian yang baik, karena akan menentukan baik buruknya kelangsungan hidup manusia. Segala benda, zat organis dan manusia yang hidup dalam suatu lingkungan mempunyai hubungan timbal balik, saling mempengaruhi. Ekosistem yang baik akan menjamin kehidupan manusia langgeng, bila ekosistem rusak, musnahlah kehidupan di muka bumi ini.




Untuk terjaganya ekosistem yang baik, Bhagawan Wararuci dalam kitab Sarasamuccaya mengingatkan umat manusia agar selalu menjaga kelestarian lingkungan. "Kesejahteraan semua makhluk, lingkungan, atau alam semesta itulah hendaknya selalu engkau usahakan, baik sedang berjalan, duduk, bangun atau tidur sekali pun.'' Ajaran ini lebih jauh diuraikan dalam falsafah Tri Hita Karana.

Karena itu, keseharian hidup umat Hindu dalam menjaga lingkungan tak kalah serius dengan apa yang dilakukan oleh para pecinta lingkungan di seluruh dunia. Di sembarang tempat bisa dijumpai sebuah pohon besar di pinggir jalan atau di ladang dihiasi kain poleng (kain kotak-kotak hitam putih) dan diberi sesaji. Hal ini sebagai petunjuk agar manusia selalu sadar menjaga hubungan yang harmonis dengan alam semesta beserta segala isinya.

Dampak Pariwisata

Sebagai daerah tujuan wisata Bali kini menghadapi berbagai masalah lingkungan yang merupakan dampak negatif pariwisata. Pakar lingkungan seringkali mengingatkan, berkembangnya industri pariwisata di satu sisi berdampak negatif di sisi lain pada lingkungan alam (perubahan flora-fauna, pencemaran, penurunan kualitas sumberdaya alam serta rusaknya fasilitas) dan lingkungan buatan (penurunan kualitas lingkungan perkotaan, dampak visual, penurunan kualitas infrastruktur, berubahnya bentuk kota, restorasi dan kompetisi). Dampak pembangunan pariwisata terhadap lingkungan fisik sangat mudah dilihat baik yang terjadi pada tanah, air maupun udara.

Mengutip Anthony S. Travis, faktor-faktor penting untuk mengetahui dampak negetif pariwisata terhadap lingkungan adalah, (1) perusakan dan pencemaran, pada umumnya yang terjadi pada air, termasuk air tanah serta air permukaan, tanah dan udara, (2) perubahan penggunaan lahan, lahan pertanian, kehutanan yang dibabat menjadi fasilitas, sarana atau prasarana pariwisata, sehingga pada awalnya lahan produktif menjadi non-produktif, (3) hilangnya flora dan fauna, banyaknya wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah pariwisata dapat mengakibatkan terganggunya flora atau fauna yang kemudian meninggalkan habitatnya untuk mencari tempat yang lebih aman, (4) meningkatnya urbanisasi, yang secara tidak langsung mengakibatkan perubahan pandangan terhadap tata guna lahan kota, terutama yang diakibatkan oleh pembangunan fisiknya.

Apa yang terjadi di Bali saat ini memang tidak jauh dengan faktor-faktor yang disebutkan Travis. Paradigma pembangunan selama tiga dasa warsa yang bersifat growth oriented, top down dan sentralistis, telah melahirkan sikap arogan dan kebablasan dalam pengembangan obyek wisata, sehingga lingkungan Bali kini makin mengkhawatirkan. Banyak obyek wisata yang dikembangkan mencaplok lahan puluhan hektar dan telah menggusur atau setidaknya mengganggu keberadaan tempat-tempat suci (parahyangan) yang terdapat di lahan tersebut. Ada juga yang mencaplok kawasan pantai, kemudian menutup fungsi pantai sebagai tempat suci bagi orang Bali dalam prosesi upacara melasti, upacara menyucikan alam semesta dan menyucikan diri sendiri. Selain itu, entah berapa banyak pohon besar yang menyangga paru-paru Bali telah ditebang, sehingga muncul kekhawatiran, jangan-jangan Bali suatu saat berubah menjadi pulau gersang mirip Ethiopia.

Keharmonisan hubungan manusia Bali dengan Yang Maha Suci kini mulai terganggu, sehingga secara langsung berpengaruh buruk kepada sikap dan perilaku orang terhadap lingkungan dan sesamanya (pawongan). Para pendatang yang menyerbu Bali di tengah krisis ekonomi yang melilit negara kita, ikut menyumbang berbagai problem sosial dan lingkungan. Kita saksikan keasrian Bali kini makin pudar dan banyak ditumbuhi bangunan-bangunan yang tidak sesuai tata ruang dan bangunan kumuh di tempat-tempat strategis. Di tengah krisis multidimensional melanda negara kita, banyak investor yang dulu menggebu-gebu membebaskan tanah, kini menghilang entah ke mana. Akibatnya banyak lahan yang dulu subur, sekarang berubah menjadi lahan tidur yang diselimuti alang-alang atau tanaman yang tidak berguna. Lahan tidur ini telah mengganggu sistem irigasi Bali dan secara perlahan membunuh organisasi subak yang diandalkan menjaga kestabilan persediaan pangan di Bali. Pada gilirannya mengganggu sistem sosial budaya masyarakat Bali yang religius.

Aktualisasi

Kini diperlukan langkah nyata, mengembangkan paradigma baru pembangunan pariwisata seiring dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Pakar dan praktisi kepariwisataan di Bali menganjurkan paradigma pembangunan pariwisata kerakyatan berkelanjutan. Paradigma pembangunan pariwisata ini menggunakan pendekatan peran serta masyarakat, pengembangan kepariwisataan berkelanjutan, dan kepariwisataan kerakyatan. Dengan paradigma baru ini, masyarakat diberdayakan agar dapat berperan secara aktif dari tahap awal, sehingga dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan fisik maupun sosial bisa dihindari. Pariwisata, seperti diungkapkan Sekjen WTO, Francesco Frangiali, adalah salah satu sahabat baik lingkungan. Ini berarti pariwisata selain ikut menentukan pendapatan suatu negara, juga sebagai persekutuan organisasi baik bersifat nasional maupun internasional dalam usaha menyelematkan lingkungan dan usaha pelestarian alam.

Oleh karena itu, pembangunan pariwisata kerakyatan berkelanjutan perlu didukung langkah-langkah mengaktualisasikan nilai-nilai luhur ajaran agama Hindu yang menjiwai budaya Bali. Pemahaman masyarakat Bali, termasuk semua orang yang kini bergelut dalam industri pariwisata di Bali, tentang makna Tumpek Bubuh harus diaktualisasikan, sehingga pengamalannya tidak berhenti sebatas upacara, persembahan sesaji atau sebatas wacana di kalangan praktisi dan pakar pariwisata. Melainkan dapat berbuat nyata menyelamatkan dan melestarikan lingkungan setiap hari atau setiap saat di seluruh pelosok Bali. Seluruh peraturan daerah (Perda) tentang pembangunan pariwisata berwawasan lingkungan harus dipatuhi semua orang. Memberikan sanksi hukum tanpa pandang bulu bagi pelanggar peraturan tentang lingkungan adalah salah satu wujud aktualisasi makna Tumpek Bubuh.

Meningkatkan pemahaman dan memperbarui cara kita mengamalkan makna Tumpek Bubuh sebagai bagian dari pelaksanaan pembangunan pariwisata kerakyatan berkelanjutan, adalah tanggung jawab kita bersama. Sejauh mana kita mau dan mampu, waktu atau zaman yang akan membuktikannya.
Read More